Powered By Blogger

LhaRimBa Batualo

Sabtu, 19 Juni 2010

alam dan penghuninya


Jangan Pisahkan Hutan dari Penghuninya
postingan (kompas cetak)

Senin, 14 Juni 2010 | 03:21 WIB

Fakta lapangan menunjukkan, amat jarang ditemukan tegakan pohon muda atau strata kedua di antara tegakan pohon berusia tua dalam kawasan Cagar Alam Mutis dan juga hutan lindung Timau di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, serta kajian ilmiah di satu pihak dan masyarakat sekitar kawasan di pihak lainnya memiliki pandangan berbeda menyikapi fakta ini.

Pihak pertama berpandangan, injakan ribuan sapi dan juga kuda milik warga sekitar yang dibiarkan berkeliaran di padang lepas dalam waktu lama adalah penyebab utama terganggunya regenerasi tegakan baru di kawasan Mutis dan hutan lindung Timau. Ancaman serius lainnya adalah pemanfaatan hasil hutan secara berlebihan. Pihak kedua berpandangan sebaliknya. Aktivitas masyarakat penghuni hutan, termasuk membiarkan sapi dan kuda berkeliaran di padang lepas, justru menyelamatkan kawasan hutan, termasuk Mutis dan hutan lindung Timau.

Mutis dan Timau meliputi kawasan hutan seluas 90.000 hektar. Mutis seluas 12.000 ha berada dalam kawasan Timau (78.000 ha). Secara administratif, kedua kawasan merupakan bagian wilayah Kecamatan Fatumnasi, TTS, dan Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara.

Alam dan penghuninya

Ketika memasuki Cagar Alam Mutis dari arah Desa Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi, sejak gerbang tampak tegakan pohon yang umumnya berbalut lumut, yang oleh masyarakat setempat dipahami sebagai ”jenggot penunggu hutan”. Lumut itu pertanda pohon sudah berusia tua dan luput dari perambahan.

”Kami hanya dibolehkan mengambil kayu kering. Itu pun hanya bagian dahan kecil atau rantingnya. Selebihnya dilarang,” tutur Maria Taklalae (16) asal Desa Fatumnasi ketika sedang mencari kayu bakar di kawasan Mutis bersama dengan warga lainnya.

Masih dalam kawasan, di titik lain dijumpai sekelompok petani yang sedang nenanami kebun mereka dengan anakan bawang bombai. Salah seorang petani, Arthusan Taklale (40), menyatakan, dia dan keluarganya sudah enam tahun berkebun bawang bombai di kawasan cagar alam itu. Mereka diizinkan berkebun dengan sejumlah persyaratan, tidak boleh membangun pondok atau rumah, tidak boleh menebang pohon, dan dilarang membersihkan lahan dengan membakar. Selain itu, mereka diwajibkan menanam pohon dalam kebun dengan anakan dari kawasan hutan Mutis.

Kearifan lokal

Menurut aktivis World Wide Fund for Nature, Yeni Fredik Nomeni, pendataan WWF tahun 1996 menyebutkan, setidaknya terdapat 24.000 ekor sapi milik warga sekitar yang berkeliaran bebas dan mengandalkan pakan hijauan dalam kawasan hutan Mutis. Jumlah itu menurun sekitar 23 persen atau berkurang menjadi sekitar 19.000 ekor pada tahun 2003. Meski sudah berkurang, sekarang masih ada sekitar 15.000 sapi dalam kawasan Mutis.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur Kemal Amas berpandangan senada. Injakan kaki ribuan sapi dan kuda selain menghancurkan anakan pohon yang baru tumbuh, juga mengeraskan lapisan permukaan tanah sehingga menyulitkan pertumbuhan anakan baru.

Ribuan sapi itu hampir dipastikan milik peternak dari 14 desa di kawasan Mutis dan sekitarnya. Dari belasan desa itu, dua di antaranya, Nenas dan Nuapin di Kecamatan Fatumnasi, adalah desa enclave dalam kawasan cagar alam, persisnya sebelah barat kaki Gunung Mutis. Khusus di Kecamatan Fatumnasi, masih terdapat tujuh desa lain, yakni Tutem, Noebasi, Liliana, Nunbena, Fatumnasi, Tune, dan Bonleu yang wilayahnya berbatasan dengan Mutis.

Tentang jarangnya tegakan muda dalam kawasan Cagar Alam Mutis, menurut salah seorang warga, itu semata-mata karena faktor alam. ”Khusus dalam Cagar Alam Mutis yang umumnya dengan tegakan padat. Dengan tegakan seperti itu, jelas tidak memberi kesempatan kepada anakan atau tegakan baru tumbuh di bawahnya. Jadi, penyebabnya bukan injakan kaki hewan, melainkan karena tegakan yang padat,” katanya.

”Kami di desa ini sejak nenek moyang sudah jelas aturan adatnya, yakni ada batas wilayah untuk kebun dan kawasan hutan. Masyarakat yang melanggar akan dikenai sanksi berat,” kata Kepala Desa Nenas Uria Kore.

Desa Nenas kini berpenduduk 2.000 jiwa atau 446 keluarga. Didukung aturan adat, pemerintah desa telah menurunkan peraturan desa yang melarang warganya menebang pohon dalam kawasan hutan atau menangkap biota air di bagian hulu sungai. Warga yang terbukti melanggar akan didenda Rp 1 juta per tindakan.

”Warga yang melihat dan melapor juga diberi penghargaan Rp 100.000,” tutur Uria Kore.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar